MAKALAH MATERI FIQIH MI
SHALAT BAGI
ORANG SAKIT

DISUSUN OLEH :
HAYATI NISA’ (13270044)
MARGIANTI (13270058)
MIRANTI (13270066)
DOSEN PENGAMPU :
Karliana Indrawati, M.Pd.I
FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA
PENGANTAR
BAB I : PENDAHULUAN
- Latar belakang masalah……………………………………………………………………. 1
- Rumusan masalah……….…………………………………………………. 2
BAB II : PEMBAHASAN
- Shalat Bagi Orang Sakit….……………………….………………………....3
- Shalat Dengan Duduk…….. ……………………..………………………… 5
- Shalat Dengan Berbaring……………..…………………………………….. 7
- Shalat Dengan Terlentang……………………………………………………8
- Tata Cara Sholat Orang Sakit……………………………………………….10
BAB III : PENUTUP
- Kesimpulan………...………………………………………………………. 16
- Saran……………….……………………………………………………….. 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
“Shalat
dalam keadaan darurat ialah shalat yang dilaksanakan dalam keadaan yang
menyulitkan seseorang untuk melaksanakannya sesuai dengan rukun-rukun shalat
yang lengap.”[1]
Dalam keadaan bagaimana pun, apapun, dimana pun, dan kapan pun sebagai umat
islam kita harus slalu mendirikan shalat. Begitu pun dengan Orang yang sakit
tetap diwajibkan melaksanakan sholat fardu. Selama akal dan ingatan orang yang
sakit masih sadar. Namun, kaum muslim yang kadang meninggalkan sholat dengan
dalih sakit atau memaksakan diri sholat dengan tata-tata cara yang
biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya merasakan
beratnya sholat bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang menyusahkannya.
Tentang
bagaimana orang yang terbaring lemah itu shalat, sesungguhnya telah jelas
bahwa tidak ada satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seorang di luar
kemampuannya. Karena syari’at islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan
orang yang dibebani. Allah Ta’ala sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya,” (Qs. Al-Baqarah: 286).
Orang
yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha melaksanakan
kewajibannya menurut kemampuan masing-masing. Sehingga nampaklah keindahan
syari’at dan kemudahannya. Allah Ta’ala juga memerintahkan kaum muslimin
untuk melaksanakan ketakwaan menurut kemampuan mereka dalam firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)
Shalat
adalah ibadah yang berhukum wajib. Wajib untuk dilaksanakan oleh setiap kaum
muslim, baik laki- laki mau pun perempuan, yang telah terhukum I wajib untuk
melaksanakan. Oleh sebab itu. Sholat harus dilaksanakan, meskipun itu dalam
kondisi tidak sehat atau sakit. Karna disaat sakit dan tidak bisa berdiri atau
tidak sanggup berdiri maka diperbolehkan untuk sholat dengan duduk, begitu juga
jika tidak mampu dengan duduk, maka boleh dilaksanakan dengan berbaring dan
jika bebaring tak mampu untuk melaksanakan maka diperbolehkan dengan
berbaring.karna agama islam adalah agama yang mudah dan tidak pernah
mempersulit pemeluknya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Shalat dalam keadaan sakit?
2.
Apa
yang dimaksud dengan Shalat dengan duduk?
3.
Apa
yang dimaksud dengan Sholat dengan berbaring?
4.
Apa
yang dimaksud dengan Sholat dengan terlentang?
5.
Sebutkan
tata cara sholat bagi orang sakit ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Shalat
Dalam Keadaan Sakit
“Shalat
adalah ibadah yang wajib dilaksanakan. Ketika kita sakit pun kita wajib
mendirikan sholat”[2]. Orang yang
sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya,
sebagaimana diperintahkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu. (Qs. At-Taghâbûn/ 64:16) dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits ‘Imrân bin Hushain:
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ
لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Pernah Penyakit wasir menimpaku, lalu akau
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara sholatnya. Maka
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sholatlah dengan berdiri,
apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR al-Bukhari
no. 1117)
Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka
diperbolehkan menjamâ’ (menggabung) shalat , shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib
dan ‘Isya` baik dengan jamâ’ taqdîm atau ta’khîr, dengan cara memilih yang
termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya
terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Di antara dasar kebolehan ini
adalah hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhuma yang berbunyi :
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ قَالَ (أَبُوْ كُرَيْبٍ) قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjama’
antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut
dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas
Radhiyallahu 'anhu : Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau Radhiyallahu 'anhu
menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya." [HR Muslim no. 705]
Dalam hadits di atas jelas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
membolehkan kita menjamâ’ shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan
(Masyaqqah) dan sakit adalah Masyaqqah. Ini juga dikuatkan dengan
menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena istihâdhoh yang
diperintahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam untuk mengakhirkan shalat
Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta mempecepat Isya’.
Diwajibkan bagi orang yang sakit
untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tak khawatir sakitnya bertambah
parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun shalat. Allah Azza wa
Jalla berfirman: "Berdirilah untuk
Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu" [al-Baqarah/
2:238]. Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan
menggunakan tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan pada tiang,
berdasarkan hadits Ummu Qais Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ
يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di
tempat shalatnya sebagai sandaran". [HR Abu Dawud & dishahihkan
al-Albani dlm Silsilah Ash-Shohihah 319].
Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri
walaupun keadaannya seperti orang rukuk. Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah
berkata, "Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya,
walaupun menyerupai orang ruku' atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang
ataupun manusia".
B.
Sholat
Dengan Duduk
Orang sakit yang mampu berdiri namun
tidak mampu ruku' atau sujud , dia tetap wajib berdiri. Dia harus shalat dengan
berdiri dan melakukan rukuk dengan menundukkan badannya. Bila dia tak
mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan
lehernya, kemudian duduk, lalu menundukkan badannya untuk sujud dalam keadaan
duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat
dengan duduk, kesulitan (Masyaqqah)
membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa
susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan
duduk, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Allah Azza wa Jalla menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [al-Baqarah/
2:185].
Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit,
walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa;
demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri, maka boleh mengerjakan
shalat dengan duduk.
Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya
duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu
'anha yang berbunyi:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا
"Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan bersila"
Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih
tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirâsy”[3]. Apabila
rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan
meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri.
Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud di atas tanah dengan
dasar keumuman hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; Dahi – beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki"
Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua
telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu,
hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih
rendah dari pada ketika ruku’.
C.
Shalat
Dengan Berbaring
Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk,
cara melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke
kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda
Rasulullah dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu 'anhu :
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah" [HR al-Bukhâri no. 1117]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri,
sehingga yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan
lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang
termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka
miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ‘Aisyah Radhiyallahu
'anha yang berbunyi:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ فِي نَعْلَيْهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ
"Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya" [HR Muslim no 396].
Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke
dada, ketentuannya , sujud lebih rendah dari ruku’. Apabila tidak mampu
menggerakkan kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
1.
Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila
rukû’ maka ia memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya
lebih dalam.
2.
Gugur
semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.
3.
Gugur
kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan
menyatakan, “yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan
saja, karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap
tidak gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza
wa Jalla menurut kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16].
D.
Sholat
Dengan Terlentang
Orang sakit
yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan
menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara
berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah
timur dan kakinya di arah barat. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak
ada yang mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka hendaklan ia shalat
sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Allah
Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya" [al-Baqarah/ 2:286]
Orang sakit
yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya
dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza
wa Jalla menurut kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16]
Orang yang
sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (Ia tidak
mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya),
hendaknya ia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama
akal seorang masih sehat. Dan Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan
perbuatan yang sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud,
maka ia wajib melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan
menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu, karena
yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.
Apabila yang
orang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya ia cukup
menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini
didasarkan hadîts Jâbir Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
أَنَّ رَسُوْلَ الله عَادَ مَرِيْضًا فَرَآهُ
يُصَلِّي عَلَى وِسَادَةٍ فَأَخَذَهَا فَرَمَى بِهَا، فَأَخَذَ عُوْدًا لِيُصَلِّي
عَلَيْهِ فَأَخَذَهُ فَرَمَى بِهِ، قَالَ: صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنِ اسْتَطَعْتَ
وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً وَاجْعَلْ سُجُوْدَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِكَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas
(beralaskan) bantal, beliau pun mengambil dan melemparnya, kemudian mengambil
kayu untuk dijadikan alas shalatnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak
maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah
dari ruku'mu".
E.
Tata Cara Shalat Orang Sakit
Mengutip buku panduan fiqih tarapan Madrasah
Ibtida’iya menyebutkan tata cara sholat orang sakit.
“Cara mengerjakannya, maka perhatikanlah baik baik keterangan
dibawah ini !
1.
Kalau
tidak dapat berdiri boleh mengerjakannya sambil duduk. Yaitu telapak kaki kiri
diduduki dan telapak kaki kanan diberdirikan (seperti saat duduk tasyahud awal
atau duduk iftirasy).

2.
Membaca
niat dan takbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan setinggi bahu (seperti
shalat saat berdiri).

3.
Membaca
surat al fatihah dan surat pendek atau surat lainnya yang ada didalam al qur’an
yang di hafal (dilalukan seperti dalam shalat sambil berdiri).

4.
Rukuk
dan tumaknina dengan duduk membungkuk sedikit dan membaca doa ruku’.

5.
Iktidal
dan tumakninah dengan kembali ke posisi semulam yaitu duduk tegak dan membaca
doa iktidal.

6.
Dua
sujud, duduk diantara dua sujud tasyahud awal (duduk iftisary) dan tasyahud
akhir sama seperti kita mengerjakannya sambil berdiri.

Cara mengerjakannya, maka perhatikanlah baik baik keterangan
dibawah ini !
1.
Apabila
seseorang yang sakit mengerjakan shalat dengan berbaring, hendaklah ia
menghadap kiblat, yaini kepada berada disebelah utara dan kaki sebelah selatan.

2.
Membaca
niat dan takbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan setinggi bahu.

3.
Bersedekap
dan membaca surat al fatihah dan surat pendek lainnya yang ada didalam
al-qur’an yang sudah dihafal.

4.
Rukuk
dan sujud menggerakkan kepada kemuka. Pada saat sujud, kepala lebih
ditundudukkan.

5.
Untuk
iktidal dan duduk diantara dua sujud, cukup kembali ke posisi semula dan membaca
doanya sama seperti bacaan dalam shalat berdiri.
6.
Begitu
juga dengan tasyahud awal dan tasyahud akhir, cukup kembali ke posisi semula
dengan membaca doanya sama seperti ketika shalat berdiri.
Cara
mengerjakannya, maka perhatikanlah baik baik keterangan dibawah ini !
1.
Kedua
kaki diarahkan kekiblat. Jika memugkinkan, kepada diberi bantal agar mukanya
dapa menghadap kekiblat.dengan demikian kepada berada disebalah timur dan kaki
sebelah barat.
2.
Bacaan
dalam shalat telentang sama dengan bacaan dalam shalat sambil berdiri.
3.
Gerakan
dalam shalatnya sama dengan gerakan shalat sambil berbaring.”[4]


BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Shalat
adalah ibadah yang berhukum wajib. Wajib untuk dilaksanakan oleh setiap kaum
muslim, baik laki- laki mau pun perempuan, yang telah terhukum I wajib untuk
melaksanakan. Oleh sebab itu. Sholat harus dilaksanakan, meskipun itu dalam
kondisi tidak sehat atau sakit. Karna disaat sakit dan tidak bisa berdiri atau
tidak sanggup berdiri maka diperbolehkan untuk sholat dengan duduk, begitu juga
jika tidak mampu dengan duduk, maka boleh dilaksanakan dengan berbaring dan
jika bebaring tak mampu untuk melaksanakan maka diperbolehkan dengan
berbaring.karna agama islam adalah agama yang mudah dan tidak pernah
mempersulit pemeluknya.
Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat
dengan duduk, Orang yang sakit apabila
mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya
berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا
"Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan bersila"
Orang
sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara melakukannya
adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri, dengan
menghadapkan wajahnya ke arah kiblat
Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat
dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih
dekat kepada cara berdiri.
B.
Saran
[1] .
Amir Abyan, Zainal Muttaqin, Fiqih, Semarang : PT Karya Thoha Putra, 2004, hal.
113
[2] .
Imam Mujtaba, DKK, Fiqih, Jakarta, 2007, hal.62
[3] . http.majalah
As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
[4] . Imam
Mujtaba, DKK, Fiqih, Jakarta, 2007, hal.63-66
DAFTAR PUSTAKA
Amir Abyan, Zainal Muttaqim.
(2004). Fiqih. Semarang: PT Karya Thoha Putra.
Andres Anwarudin, DKK. (2007). Fiqih.
Jakarta: Yudhi Tira.
http.majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183