Minggu, 13 Desember 2015

Makalah Pemikiran Modern dalam Islam

MAKALAH PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM
ABUL A’LA MAUDUDI

DISUSUN OLEH :

MARGIANTI                                                  (13270058)

DOSEN PENGAMPU :
Hj EKA WATI S.AG, M.Hom

FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2015



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji  syukur penulis  haturkan  kehadirat  Allah SWT  yang telah melimpahakan petunjuk, bimbingan dan kekuatan sehingga penulisan dapat diselesaikan  tepat pada waktunya. makalah ini dibuat sebagai salah satu bahan belajar dalam mata kuliah Pemikiran Moderen Dalam Islam dan syarat untuk pengambilan nilai di semesrter empat ini yang sebagai bahan ujian akhir semester. yang insyallah berguna dalam membantu mempermudah proses belajar mahasiswa.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan pembuatan  makalah yang baik, dan Penulis ucapkan terimakasih semoga makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa. Amin.  Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


                                                            Palembang,      juni  2015

                                                                        Margianti


DAFTAR ISI

Judul                                                                                                               Halaman
Kata Pengantar
BAB I
Latar Belakang……………………………………………………………………… 1
Rumusan Masalah…………………………………………………………………... 3
BAB II
Biografi ABUL A’LA MAUDUDI…………………………………………………. 4
Karya – Karya ABUL A’LA MAUDUDI…………………………………….….… 7
Ide-Ide Pembaruan ABUL A’LA MAUDUDI…………………………………….. 13
BAB III
Kesimpulan………………………………………………………………………… 20
Saran……………………………………………………………………………….. 21

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Robohnya khilafah Islamiyah di Turki pada tahun 1924 benar-benar menjadi pukulan sangat telak pada eksistensi ummat Islam. Khalifah Islam di Turki yang merupakan jangkar terakhir kekuatan dan simbol ummat, telah diobok-obok oleh Kamal At-Taturk, bapak sekularisme Turki yang tak lain adalah antek Barat yang dipasang di jantung pusat kekuatan Islam”[1].
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan muslim.Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum muslimin dan jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun, saat itu fokus tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada kebangkitan Islam. Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada dasawarsa terakhir. Ia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) di Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H). Rasa dekat keluarga ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam membentuk pandangan Maududi di kemudian hari.
Abul A’la al Maududi merupakan kaum pembaharu islam di era modern saat itu, Abul A’la al Maududi merupakan tokoh yang paling produktif mengeluarkan ide-ide pembaharuannya. Yang paling menarik dari tulisan-tulisannya adalah konsistensi pemikirannya dan kemampuannya untuk menggabungkan dan menjalin seluruh pemikiran pembaharuannya menjadi suatu sistem atau tata pikir yang benar-benar terpadu. Di antara para pemikir Islam sib-kontinen (India dan Pakistan) seperti Syekh Waliyullah, Sir Sayyid Ahmad Khan, Amir Ali, Yusuf Ali, Muhammad Iqbal, Fazhur Rahman, an Nabawi dan lain-lain, hanya al Maududi yang menjunjung tinggi  Islam sebagai suatu sistem komprehensif bagi kehidupan manusia di era modern saat itu. Namun, terkadang ada kritikkan keras yang dilontarkan terhadap al- maududi,akan tetapi kritikkan keras itu tidak sedikitpun menggoyahkan kemantapan tata berfikir al Maududi.
Sekitar tahun 1941, al Maududi mengembangkan pikirannya untuk membentuk suatu gerakan yang lebih komprehensif, dan itulah yang menyebabkan ia mendirikan organisasi Jama ‘ati Islami (Partai Islam) sekaligus merangkap sebagai ketuanya hingga tahun 1972. Organisasi   Jama ‘ati Islam pimpinan al Maududi, pada hakekatnya merupakan gerakan kader-kader Islam dan bukan menjadi gerakan massa. Namun, Dalam perjuangannya, ia sering mengambil posisi berhadapan dengan pemerintahan Pakistan. Ketika negara Pkistan berdiri pada tanggal 14 Agustus 1947, al Maududi pindah ke sana dan mulai emusatkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk membangun negara Islam yang benar-benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam di daeah Pakistan, al-maududi sangat berpegang tegguh pada tujuannya itu, ia banyak menulis untuk menerangkan aspek-aspek yang berbeda dari jalan hidup Islam, terutama aspek-aspek sosio-politik, maksud disini, al-maududi sangat berperan dalam aspek politik, dalam pembaruaan yang di lakukan olehnya.
Al-maududi melihat keadaan negara Pakistan saat itu, yang cenderung tidak konsisten dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam, dalam kehidupan bernegara. Yang mana Negara tersebut didirikan atas nama Islam itu, namun kenapa dalam menjalankan kehidupan bernegara tidak mengandung nilai nilai beragama ?. dan ada nya keadaan ini sangat mendorong al Maududi untuk tampil sebagai pejuang yang berupaya menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan sumber konstitusi di negara itu. Menjadikan Negara itu menjadi Negara yang haruslah berideologi tauhid, atas kedaulatan Tuhan dan sistem yang universal. Namun, pada saat itu orang orang yang ada pada daerah tersebut bingung, ada yang mengagung agungkan demokrasi Barat dan menunjukkan bahwa dengan demokrasi tersebutlah yang cocok menurut islam, karena pada saat itu perkembangan modern barat berkembang dengan demokrasi tersebut, sehingga banyak yang ingin mengikut ikuti ajaran dari barat, yang menganggap bahwa di dalam demokrasi tersebut cocok menurut islam. Namun  sebagian orang orang yang lain memandang bahwa system teokrasi di Eropa adalah cerminan Islam. Di dalam kebingungan-kebingungan tersebut, al-Maududi menawarkan sistem negara Islam dengan istilahnya yang baru yakni theo-demokrasi dan teokrasi Islam serta konsep-konsepnya yang cukup lengkap tentang negara. Maksud dari Theo Demokrasi adalah dengan Sistem pemerintahan, di mana rakyat diberi kebebasan menyampaikan pendapatnya dengan tetap berpegang teguh pada peraturan-peraturan Tuhan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Sebutkan Biografi Abul A’la Maududi ?
2.      Karya apa saja yang di lakukan oleh Al- Maududi ?
3.      Sebutkan Ide ide pembaruan yang dilakukan Al-Maududi ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    BIOGRAFI ABUL A’LA MAUDUDI
Abu al-A'la Maududi merupakan salah seorang ulama abad ke-20 dan penggagas Jamaat e-Islami (Partai Islam) . Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada dasawarsa terakhir. Ia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) di Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H). Rasa dekat keluarga ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam membentuk pandangan Maududi di kemudian hari[2].
Dia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Garis keturunannya bersambung langsung dengan Khwaja Qutbu'ddin Maududi Chisti, dari sini nama Maududi diambil, yang mendapat gelar sebagai syaikhul syuyukh (guru-gurunya sufi) di India. Oleh karenanya, nama mereka selalu diembeli sayyid. Dari ibunya, Ruqaiyah Begum, nasabnya berasal dari keluarga utama asal Turki yang berimigrasi ke India pada saat Aurangzeb berkuasa dan pernah menjabat pos penting di pemerintahan Mughal. Pada masa kecilnya, Maududi sangat disayang oleh ayahnya
Ahmad Hasan, ayahnya Maududi, sangat menyukai tasawuf. Ia berhasil menciptakan kondisi yang sangat religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya. Ia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam kultur syarif. Karenanya, sistem pendidikan yang ia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada pelajaran bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Karena itu, Maududi jadi ahli bahasa Arab pada usia muda.
Pendidikan formal Al-Maududi dimulai dari sekolah menengah Fauqaniyah yang memadukan sistem pendidikan Barat modern dan Islam tradisional. Alasan kenapa ayahnya tidak menyekolahkan anak-anaknya melalui jenjang-jenjang pendidikan seperti lazimnya anak-anak yang lainnya. Selesai di Madrasah Fauqaniyah, dia melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi Darul Ulum di Hyderabad. Ketika meniti pendidikan di Perguruan Tinggi ini ayahnya meninggal sehingga menghambat studinya dan terpaksa dia berhenti dari studi formalnya. Dia meneruskan pendidikannya secara otodidak dan mempertahankan hidupnya dia terjun ke dunia jurnalistik.
Pada 1919 dia ke Jubalpur untuk bekerja di minggua partai pro Kongres yang bernama Taj. Di sini dia jadi sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, serta aktif memobilisasi kaum muslim untuk mendukung Partai Kongres. Kemudian Maududi kembali ke Delhi, Di Delhi, Maududi memiliki peluang untuk terus belajar dan menumbuhkan minat intelektualnya. Ia belajar bahasa Inggris dan membaca karya-karya Barat. Jami’at mendorongnya untuk mengenyam pendidikan formal agama. Dia memulai dars-I nizami, sebuah silabus pendidikan agama yang populer di sekolah agama Asia Selatan sejak abad ke delapan belas. Pada 1926, ia menerima sertifikat pendidikan agama dan jadi ulama. Dan berkenalan dengan pemimpin penting Khilafah seperti Muhammad ‘Ali. Bersamanya, Maududi menerbitkan surat kabar nasionalis, Hamdard. Namun itu tidak lama. Selama itulah pandangan politik Maududi kian religius. Dia bergabung dengan Tahrik-I Hijrah (gerakan hijrah) yang mendorong kaum muslim India untuk meninggalkan India ke Afganistan yang dianggap sebagai Dar al-Islam (negeri Islam).
Pada 1921 Maududi berkenalan dengan pemimpin Jami’ati ‘Ulama Hind (masyarakat ulama India). Ulama jami’at yang terkesan dengan bakat maududi kemudian menarik Maududi sebagai editor surat kabar resmi mereka, Muslim. Hingga 1924 Maududi bekerja sebagai editor muslim. Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum muslimin dan jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun, saat itu tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada kebangkitan Islam.
http://islampos.com/wp-content/uploads/2012/07/abu.jpg    

Pada Tahun 1943, Abul al-A’la al-Maududi mendirikan Jama’at Islami. Tujuan dari organisasi tersebut adalah untuk mengadakan revolusi total dalam kehidupan umat Islam berdasarkan pemahaman Islam yang benar dan bersih dari noda-noda yang didatangkan oleh orang-orang yang tidak senang pada Islam. Organisasi tersebut juga mengajak umat untuk menjadikan Islam sebagai undang-undang negara dan memilih pemimpin tanpa adanya perselisihan.
20 september 1979 menjadi hari terakhir Al-Maududi hidup didunia. Ia mengembuskan nafas terakhirnya disebuah rumah sakit di New York. Banyak tokoh islam kontemporer yang hadir dalam pemakamannya selain ribuan muslim. Al-Maududi mendapatkan penghargaan atas jasa jasanya di medan dakwa, pemikiran dan mengabdian terhadap islam.
B.     KARYA KARYA ABUL A’LA MAUDUDI
Dunia jurnalistik merupakan karir pertama yang dijalani Al-Maududi setelah putus sekolah, tepatnya sejak tahun 1920. Kemudian dia pindah ke Delhi. Pada usia dua puluh enam tahun dia menerbitkan karya pertamanya Al-Jihad fi Al-Islam yang banyak menarik perhatian kalangan. Tahun 1932 dia pindah ke Hyderabad dan menerbitkan Tarjuman Al-Qur’an, jurnal bulanan yang terkemuka di abad ke-19/20 sebagai corong untuk membangkitkan semangat umat Islam
Tahun 1937 Al-Maududi menerima surat dari Iqbal yang berisi ajakan untuk merekonstruksi yurisprudensi Islam. Keduanya bersepakat untuk bertemu dan untuk merealisasikan cita-cita tersebut mereka memutuskan untuk tinggal di Punjab. Tahun 1938 Al-Maududi berangkat ke Punjab, tetapi nasib berkata lain, sebulan setelah tibanya Al-Maududi di sana Iqbal menghembuskan nafasnya yang terakhir. Al-Maududi kemudian pindah ke Lahore dan Al-Maududi, dalam perkembangan masa berikutnya, untuk mencanangkan gagasan-gagasannya tidak lagi menggunakan media massa, tetapi lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat praktis, yaitu dengan mendirikan Jama’at al-Islam. Dengan begitu hal hal yang akan ia perkembangkan bisa dengan cara yang mudah.
Al-Maududi Pada tahun 1941 beliau mendirikan partai Jama’ati Islam (Persatuan Islam), suatu perkumpulan yang terorganisasi dengan sangat baik dan bertujuan untuk membentuk kembali masyarakat dan tertib Islam sedunia (baik dalam arti politik, hokum maupun social). Walaupun pada mulanya ia menentang segala jenis nasionalisme karenanya Al-Maududi pun menentang pembentukan Negara Pakistan, namun akhirnya ia pindah juga ke Pakistan setelah terjadinya pemisahan Pakistan dari India, di mana Jama’ati Islam sangat giat dalam bidang politik.
Pendirian Jama’at Al-Islami didasarkan pada kekhawatiran akan eksistensi umat Isalm di India. Dengan system demokrasi menyebabkan umat Hindu menjadi mayoritas dan umat Islam menjadi minoritas yang berarti pula umat Islam akan kehilangan peran mereka sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Jama’at Al-Islami merupakan jawaban terhadap situasi yang problematis tersebut. Al-Maududi memaksudkan Jama’at Al-Islami sebagai: “… perkumpulan orang-orang yang berakar dalam nilai-nilai Islam untuk memberikan kepemimpinan dalam menciptakan suatu masyarakat Islam” Tahun 1947 Pakistan memproklamirkan diri sebagai Negara merdeka yang terpisah dari India. Jama’at-pun pindak ke Pakistan. Pada satu sisi, Al-Maududi memang menentang nasionalisme, tetapi pada sisi lain, dia dikondisikan pada dua pilihan yang tidak dapat dihindari. Untuk menegakkan kepemimpinan masyarakat muslim di India hampir dapat dikatakan mustahil (utopis). Di sinilah kemudian dia dituntut untuk lebih realistis.
“Jama’at Al-Islami terus berupaya mentrasformasikan ideologinya. Hasinya, melalui tangan Al-Maududi lahirlah berbagai: “… literatur tentang Islam dalam bahasa Urdu dan kini sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Arab. Ia banyak merekrut banyak cendikiawan Muslim Pakistan dan membina sendiri para kadernya””[3] Dengan berdirinya Negara Islam Pakistan tidak berarti memuluskan ambisi Al-Maududi dan Jama’at Al-Islaminya untuk menggolkan Islam sebagai konstitusi dan jalan hidup muslim. Pada tanggal 4 Oktober 1948 dia sempat ditahan karena gerakannya yang dinilai terlalu radikal. Berselang dua puluh bulan berikutnya dibebaskan, yaitu pada Mei 1950. Tahun 1953 dia kembali ditahan bahkan divonis mati dengan tuduhan menyebarkan selebaran gelap, tetapi kemudian, hukuman itu diremisi menjadi hukuman seumur hidup, Pada tanggal 28 April 1955, atas keputusan Mahkamah Agung, dia dibebaskan.Ketika Ayub Khan berkuasa, Jama’at Al-Islami secara resmi dinyatakan sebagai partai terlarang, dan karena ketidakpatuhannya, maka untuk ketiga kalinya Al-Maududi dijebloskan ke dalam penjara, yaitu pada tanggal 6 Januari 1964, tetapi pada akhirnya kasus ini bias dibawa ke Pengadilan Tinggi untuk diadili secara jujur. Akhirnya larangan tersebut dicabut kembali dan pada tanggal 9 Oktober 1964 dan Al-Maududi dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi.
Pertentangan antara Al-Maududi dengan rezim Ayub Khan semakin menjadi-jadi, bahkan untuk hal-hal yang tidak fundamental sekalipun. Misalnya, mengenai ru’yah al-hilal untuk menentukan hari raya idul fitri. Al-Maududi berbeda pendapat dengan pemerintah dalam menentukan hari raya idul fitri, dan karena itu, pada tanggal 29 Januari 1967 dia kembali ditahan oleh rezim Ayub Khan dan pada tanggal 15 Maret 1967 dibebaskan.
Adapun karya karya yang dimiliki oleh Al-Maududi, beliau meninggalkan banyak karya tulis dengan cakupan yang sangat luas. Diantara karyanya adalah;
1.      Al-Jihad fi Al-Islam, karya pertama Al-Maududi dalam bentuk buku. Ketika buku ini diterbitkan, usia Al-Maududi baru 26 tahun. Walaupun demikian, karya ini mendapat respon yang luas dan dinilai revolusioner dan otoritatif dalam menjelaskan makna dan peran jihad.
2.      Manhaj Al-Inkilab Al-Islam,Setelah mempelajari revolusi Perancis, Rusia, dan Turki, Al-Maududi menyimpulkan bahwa semua itu tidak akan terwujud tanpa adanya perubahan mental dan kepribadian. Jadi di sini tampak jelas perlunya revolusi diri sebelum melakukan revolusi social. Selanjutnya Al-Maududi menguraikan pengertian dan cara-cara revolusi yang dibenarkan Islam. Revolusi adalah suatu istilah dan cara dalam perjuangan mengangkat derajat Islam.
3.       Al-Usus Al-Akhlaqiyah li Al-Harakah Al-Islamiya. Dalam karyanya ini Al-Maududi menekankan pentingnya etika di dalam pergerakan Islam. Asas berupa etika inilah yang selama ini kurang diperhatikan oleh kebanyakan umat Islam. Padahal suatu pergerakan yang tidak dilandasi etika yang benar hanya akan menghasilkan kebobrokan belaka.
4.       Tadzkirah Do’at Al-Islam:Berisikan petunjuk bagi para juru dakwah. Keberhasilan seorang pendakwah sangat ditunjang oleh berbagai factor dan keadaan, diantaranya konsistensi, metode penyampaian, waktu yang panjang, dan factor-faktor lainnya. Harus diingat bahwa manusia diperintahkan untuk berusaha semaksimal mungkin, tetapi tidak diwajibkan untuk berhasil. Keberhasilan berada di tangan Tuhan. Al-Maududi kemudian menjelaskan beberapa sifat yang mesti dimiliki dan cara yang harus dilakukan oleh para pendakwah, yang dengan keduanya itulah pelaksanaan tugasnya menjadi maksimal dan diharapkan berhasil.
5.       The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Buku ini memuat pembahasan masalah perkawinan dan perceraian dalam pandangan Islam. Perkawinan lambang kedamaian dan perdamaian hidup yang diikat oleh cinta dan kasih saying. Lihatlah nagaimana perkawinan mampu mempersatukan dua jiwa yang berbeda, yaitu berupa ikatan kasih saying dalam rumah tangga. Dari rumah tanggalah berangkatnya kedamaian dan perdamaian yang lebih luas, allah memperbolekan perceraian, namun allah juga membencinya.
6.      Nazhariyah Al-Islam As-Siyasah, Buku ini diawali dengan pelurusan atas konsepsi politik Islam yang salah. Menurut Al-Maududi, politik Islam tidak bergantug kepada trend politik tertentu, melainkan dari secara indipenden. Islam mendasarkan konsep politiknya pada ajaran tauhid. Semua seluk beluk pemerintahan dan perpolitikan sudah termuat di dalam Alquran. Maka tidak pada tempatnya jika system pemerintahan masih diperdebatkan.
7.      Human Rights in Islam, Al-Maududi merumuskan tawaran Islam tentang HAM, yang ternyata Islam sudah membicarakannya sejak awal kedatangannya. Selain itu, Al-Maududi juga menganjurkan , apa yang menjadi landasan HAM, sehingga mereka tidak terjebak pada HAM-HAM semu ciptaan manusia yang dikira lebih baik dari hukum Allah padahal justru menyesatkan..
8.      The Islamic Laws and Constitution karya Al-Maududi yang membicakan, secara konseptual, masalah system politik Islam yang kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang bersifat praktis. Kesempurnaan Islam harus dirumuskan ke dalam konsep-konsep dan dilaksanakan sesuai dengan rumusan-rumusan tersebut.
9.       Islamic Way of Life, embahasan mengenai sifat-sifat dasar kehidupan individual dan sosial umat Islam. Di dalam buku ini dijelaskan system moral, social, politik, dan ekonomi Islam yang berpijak pada pandangan mengenai kosep kehidupan islami.
10.  The Fundamentals of Islam, Buku ini merupakan kumpulan ceramah-ceramah Al-Maududi yang berisikan pembahasan khusus mengenai aspek-aspek yang fundamental dalam Islam, yaitu tauhid. Pembahasan pertama dalam buku itu mengenai kedudukan pengetahuan dan tauhid. Selanjutnya dia menguraikan masalah Islam, shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad[4].
11.  Al-Khilafah wa Al-Mulk, Pemerintahan Islam adalah Negara Islam, dan Negara Islam adalah Negara Dunia (world state), bukan Negara bangsa (nation state). Islam mendasarkan sistem pemerintahannya pada kepengaturan dan keteraturan alam semesta. Oleh karena itu, semua orang yang bersedia tunduk di bawah hukum Allah mempunyai hak dan kewajiban yang setara di hadapan-Nya. Mereka mempunyai kesempatan yang sama, tidak ada yang lebih mulia kecuali karena kadar ketakwaannya. Menurut Al-Maududi, penyimpangan pertama dalam politik Islam sudah ada sejak pada masa pemerintahan Bani Umayyah.
Adapun karya karya yang lain milik Abul A’la Maududi
1.      Nationalism and India, yang berisikan kritik tajam terhadap nasionalisme,
2.       Islam: Its Meaning and Message, yang membicarakan masalah asas-asas Negara Islam, tujuan didirikan dan seluk beluknya.
Al-Maududi adalah penulis yang sangat produktif. Dia telah menghasilkan puluhan tulisan yang berisikan berbagai pembahasan. Selain karya-karyanya tersebut di atas masih banyak karya-karyanya yang lain. Untuk itu Pemikiran dan reformasi dari suatu keadaan akan selalu terjadi dimana saja, kapan saja dan dalam bentuk apa saja. Reformasi dalam konteks ini mempunyai ragam dan bentuknya, setidaknya ada tiga kecenderungan dari reformasi itu sendiri. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan sistem dari abad-abad permulaan Islam sebagai sesuatu sistem yang benar dan tentunya setelah dibersihkan dari bid'ah, kedua, kecenderungan dalam usaha untuk membangun kembali ajaran yang benar. ketiga, kecenderungan dalam berpegang teguh kepada dasar-dasar ajaran Islam yang diakui pada umumnya, tetapi tidak menutup pintu bagi pandanganp-andangan baru yang biasanya datang dari Barat. Dari tiga kecenderungan itu, dapat diketahui bagaimana konsep yang dibangun Abul A’la al-Maududi dalam pemikiran politiknya.

C.    IDE IDE PEMBARUAN ABUL A’LA MAUDUD
Maududi pun berupaya mencari faktor penyebab semakin pudarnya kekuasaan muslim. Dia berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan ajaran sejatinya. Karenanya Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada pemerintahan saat itu, namun tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum muslimin.[5]
Sudah menjadi semacam kebiasaan dikalangan orang-orang tertentu untuk mengindetikkan Islam dengan salah satu sistem (politik) yang sedang menjadi model pada masanya. Maka pada saat sekarang pun terdapat orang-orang yang mengatakan bahwa Islam adalah suatu (sistem) demokrasi dan dengan pernyataan ini mereka menyatakan bahwa di antara Islam dan demokrasi yang dikenal di Barat sama sekali tidak ada perbedaannya. Orang-orang lain menyatakan bahwa Komunisme tidak lain adalah Islam juga dalam versinya yang terakhir dan yang disempurnakan, dan karenanya sudah selayaknya jika kaum Muslimin mau mengikuti pengalaman Komunis di Soviet Rusia. Disamping itu masih ada juga orang-orang lain yang berprasangka bahwa dalam Islam terdapat unsur-unsur kediktatoran dan karenanya kita harus menghidupkan kembali sikap budaya “Ta’at kepada Amir” (Pemimpin). Semua orang itu, yang karena kurang mengetahui dan kesalahfahamannya beranggapan bahwa apa yang mereka kemukakan itu adalah identik dengan Islam, senantiasa dalam kebingungan jika ditunjukkan bukti bahwa sebenarnya Islam mencakup unsur-unsur dari segala macam pemikiran dan tindakan sosio-politik kontemporer.
Sebab itulah Al-Maududi menginginkan pembaruan dalam politik. Karena banyak anggapan anggapan dan ajaran ajaran yang menyimpang dan melatar belakangi atas nama islam. Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang kenegaraan didasari oleh tiga dasar keyakinan yaitu:
1.      Islam adalah suatu agama yang paripurna
2.      Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan adalah pada Allah dan umat manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Allah sebagai khalifah Allah di bumi.
3.      Sistem politik islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
Berdasarkan tiga dasar keyakinan atau anggapan tersebut, maka lahirlah suatu konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Al-Maududi yaitu Konsep theo-demokrasi yang dituangkan dalam bukunya Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.
konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi.
Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah Al-Maududi lalu menyimpulkan, Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.
Pada dasarnya Al-Maududi menjelaskan bahwa lembaga-lembaga kekuasaan negara dibagi menjadi tiga lembaga Negara yaitu: legislatif, Eksekutif dan yudikatif (Trias Politika), dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Legislatif
Legislatif merupakan lembaga yang berdasarkan terminologi fiqh disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa (ahl al-hall wa al-‘aqd). Bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntutnya. Dari perintah-perintah ini, maka secara otomatis timbul prinsip bahwa lembaga legislatif dalam Negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Tuhan dan Rasulnya.
2.      Eksekutif
Dalam suatu Negara Islam, tujuan sebenarnya dari lembaga eksekutif adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
3.      Yudikatif
Lembaga yudikatif yang dalam terminologi hukum Islam dikenal sebagai Qadha juga diisyaratkan maknanya oleh pengakuan atas kedaulatan de jure dari Tuhan yang maha kuasa. Jadi lembaga yudikatif menekankan bahwa orang-orang yang tidak memutuskan perkara sesuai dengan hukum Ilahi  adalh orang-orang kafir, dzalim, dan fasik. Setelah itu, harus ditekankan bahwa pengadilan-pengadilan hukum dalam suatu negara Islam ditegakkan untuk menegakkan hukum Ilahi dan bukan untuk melanggarnya sebagaimana yang dilakukan dewasa ini dihampir semua negara muslim.
Tentang struktur pemerintahan, Maududi memandang bahwa struktur yang telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin adalah struktur pemerintahan yang dapat pula dijalankan di abad modern ini karena struktur itu merupakan struktur ideal yang dibangun di awal pemerintahan Islam. Oleh karenanya hukum atau undang-undang yang harus diberlakukanpun adalah syari'at Islam secara apa adanya sebagaimana yang dijalankan di awal tradisi Islam tanpa perlu adanya ijtihad karena Islam merupakan sistem yang komprehensif dan sesuai dengan situasi dan kandisi zaman. Dengan demikian, apa yang menjadi idealisme besar Maududi yaitu ingin menjadikan Islam kembali sebagai way of fife akan dapat direalisasikan.
Substansi dari ajaran Islam merupakan hal yang utama daripada simbol-simbol Islam itu sendiri, Ajaran Islam dapat disesuaikan dengan segala zaman. Oleh karenanya dalam rangka mencari solusi dari suatu hal yang baru diperlukan ijtihad dengan tetap mengacu kepada dua sumber hukum Islam yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah. Kedaulatan berada di tangan rakyat, karena system pemerintahan merupakan urusan yang bersifat mua'malah dan manusialah yang harus menjalankan system pemerintahan dari suatu negara.
Terkait dengan pembahasan diatas ada beberapa hal yang dapat dikemukakan dan digambar dari pemikiran politik al-Maududi:
1.      seluruh produk pemikiran Al-Maududi bertitik tolak dari tauhid. Dia selalu menekankan hukum ilahiah sebagai landasan bagi manusia untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Segala konsep yang ada di muka bumi ini harus merujuk kepada konsep langit. Hak dan potensi manusia hanya bersifat fungsional dan pengembangan, bukan penciptaan, dengan perkataan lain, manusia sama sekali tidak berhak membuat undang-undang sendiri. Bumi adalah milik Allah, hanya Allah yang Maha Mengetahui, oleh karena itu, hanya Dia pula yang lebih mengetahui apa yang terbaik bagi manusia.
2.      Al-Maududi memiliki pemikiran yang integral dan sistematis. Integralitas pemikirannya dapat dilihat dari titik tolak pemikiran dan konsep-konsep yang dirumuskannya yang tidak pernah lepas dari pandangannya mengenai tauhid.Selain integral, pemikiran Al-Maududi juga sistematis. Hampir pada setiap lembar karya tulisnya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga menjadi runtut dan mudah dipahami. Alur bahasan diatur secara kronologis. Uraian dari satu bab ke bab berikutnya saling berkaitan. Dari tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya itulah menunjukkan bahwa dia seorang yang berpikiran sistematis.
3.      Al-Maududi adalah seorang yang konsisten dan konsekuen. Konsisten, karena dia memegang teguh keyakinannya dan konsekuen, karena semua gagasannya selalu diiringi dengan tindakan nyata. Jama’at Al-Islami adalah contoh kongkrit yang membuktikan semua itu, terlepas dari berhasil atau gagalnya organisasi ini menanamkan benih ideologinya.
Pikiran politiknya pada intinya untuk mencapai kesejahteraan penduduk secara umum. Dalam konsepnya tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, daerah geografi, dan disatukan oleh sebuah ideologi Islam sehingga hak mayoritas dan hak minoritas dapat terjamin. Ia pun menyeimbangkan antara hak negara dan hak individu, sehingga negara tidak berkuasa mutlak atas penduduknya dan individu mempunyai kewajiban untuk membantu negara.
Kemudian al maududi menjelaskan tentang dasar-dasar hukum Islam yang terangkum dalam 9 poin yaitu:
1.      Menjunjung tinggi dustur ilahi.
2.      Adil diantara umat manusia.
3.      Prinsip persamaan diantara kaum muslimin.
4.      Tanggung jawab pemegang kekuasaan.
5.      As-Syura.
6.      Taat dalam hal kebaikan
7.      Anjuran untuk tidak meminta kekuasaan
8.      Tujuan adanya negara Islam
9.      Al-amr bil ma’ruf wa nahyu an al-Munkar.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Abul A’la Maududi lahir di Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H). Ayahnya bernama Ahmad Hasan, Ayahnya sangat menyayangi Al-Maududi, sampai ia mendidiknya sendiri dengan landasan agama islam. (tauhid) sampai Abul A’la Maududi benar benar paham. Dan usahanya berhasil. Hingga Al-Maududi menajdi seorang ulama dengan pendidikan yang beliau lewati.
Karya karya milik Abul A’la Maududi berupa buku, yang meyoritas membahas tentang kewarganegaraan dan politiknya. Namun, di landasi atas agama islam dan realita kehidupan pada saat itu. Karya milik Abul A’la Maududi, Al-Jihad fi Al-IslamManhaj Al-Inkilab Al-Islam, Al-Usus Al-Akhlaqiyah li Al-Harakah Al-Islamiya, Tadzkirah Do’at Al-Islam, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Nazhariyah Al-Islam As-Siyasah, Human Rights in Islam, The Islamic Laws and Constitution, The Fundamentals of Islam, Al-Khilafah wa Al-Mulk. Adapun karya karya yang lain milik Abul A’la Maududi adalah : Nationalism and India, Islam: Its Meaning and Message,
Karena pada saat itu islam semakin pudar dalam kekuasaan muslim. Al-Maududi berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan ajaran sejatinya. Sehingga Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada pemerintahan saat itu, namun tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum muslimin. Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang kenegaraan didasari oleh tiga dasar keyakinan yaitu:
1.      Islam adalah suatu agama yang paripurna.
2.      Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan adalah pada Allah dan umat manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Allah sebagai khalifah Allah di bumi.
3.      Sistem politik islam
Dan Maududi menyatakan juga atas konsep pemikirannya tentang Konsep theo-demokrasi maksud disisni adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan.
B.     SARAN
DAFTAR PUSTAKA
 http://wardahthoyyibatul.blogspot.com
Mahmud Mohammad, dkk, Pemikiran Islam, 2002, Jakarta, Erlangga
Mutaqin Imam, Devolusi Negara Islam, 2000, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Mohammad Achsin, Dasar-Dasar Negara Islam, 1984, Bandung Pustaka
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia



[1] . Mohamed Mahmud dkk, Pemikiran Islam,Erlangga, Jakarta, 2002, hlm,107

[2] . Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
[3] . Imam Mutaqin, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 196.

[4]. Achsin Mohammad, Dasar-dasar Islam, Bandung: Pustaka, 1984, hlm 156.
[5] . Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia

1 komentar: